Musik Folk, dari Interpretasi Hingga Pergeseran Maknanya

Editor : UKM KOMMUST | 14/04/2019 13:00 WIB

Musik folk adalah genre musik yang akhir-akhir ini kembali booming di Indonesia. Sebenarnya apasih definisi folk itu? Okay sedikit membahas makna dari kata “folk”, yang artinya adalah rakyat. Musik folk berarti musik rakyat yang hidup di masyarakat secara turun temurun, dipertahankan sebagai sarana hiburan, definisi dilansir dari Wikipedia. Sebut saja folk adalah musik yang semua orang nyanyikan.

Dilansir dari situs berita dcdc.com, berlatar belakang alasan kultur fusion, musik folk berinteraksi dari waktu ke waktu. Setelah perang dunia ke II di Amerika dan Britania Raya, mengimitasi dari bentuk folk tradisional, lahirlah folk rock. Khas dengan sura gitar elektrik, kontra bass, mandolin hingga tren memakai gitar 12 senar oleh Roger McGuinn (The Byrds) atau George Harrison (The Beatles tahun ’64-’65). Folk Rock sendiri diistimewakan dengan harmoni vokal rapat pada kalimat-kalimat dalam lagunya ditambah music folk rock lebih menyentuh sisi realita manusia, fantasi hidup, pesan perdamaian, kecintaan pada alam sampai berbicara mengenai revolusi dan warna kulit di lirik-lirik yang dibawakan oleh seniman folk rock. Sejauh ini paham apa maksud dari kata folk kan?

Menurut Franco Londah dalam tulisannya di situs berita dcdc.com musik ini berkembang di Inggris di era 60-70an. Folk juga dipopulerkan sebagai istilah melalui media oleh seorang berkebangsaan Inggris bernama Thomas William pada tahun 1846. Beliau orang pertama yang menggunakan istilah folk dalam media. Penggambarannya pun terlalu idealis (sempit), karena hanya menggambarkan adat dan tarian di tiap daerah. Dia menggunakan istilah folk songfolk musicfolk dance, dan lain-lain. Nah sejak saat itu folk resmi menjadi genre musik. Kalau kalian muda-mudi penggemar era oldies, rambut gondrong, celana cutbray dan baju warna-warni cerminan generasi bunga, entah memang benar fans atau sekedar tren dan ingin dibilang ‘hippies lokal’. Kalian pasti tidak asing dengan Simon and Garfunkle, Joan Baez, bahkan Tracy Chapman.

Kita beralih dari musik folk Amerika hingga Eropa ke musik folk di tanah air kita ini, musik folk sedang ramai menjadi bahan perbincangan atau bahkan menjadi lahan pemusik untuk mengekspresikan karya, akan tetapi karena terlalu menjamur dan bisa dibilang bahwa kita hidup di negara dengan budaya latah. Perlu kalian ketahui salah satu veteran musik folk di Indonesia adalah Gordon Tobing ia adalah musisi kelahiran Medan yang terkenal dengan grup vokalnya “Impola” sangat populer ditahun 1960an. Gordon Tobing dengan Impolanya berhasil menjamah panggung internasional di beberapa negara seperti Jerman dan Australia.

Perkembangan musik folk di Indonesia sangat menunjukkan progress yang sangat baik. Telinga kalian pasti pernah mendengarkan single “Zona Nyaman” milik Fourtwenty dari media visual, atau platform digital seperti spotify, joox, dan yang lainnya. Jangan lupa, beberapa tahun lalu single “Akad” milik Payung Teduh juga berhasil mencengkram telinga pemuda Indonesia. Di zaman sekarang kembali bermunculan musisi folk di Indonesia, sebut saja Stars and Rabbit, Banda Neira, bahkan baru ini muncul seorang penulis yang mendadak menjadi “musisi folk”, yap benar Fiersa Besari serta masih banyak lagi ada puluhan bahkan mungkin ratusan. Coba kalian dengarkan komposisi musik mereka, kalian pasti akan kagum terbawa suasana musik yang ‘merakyat’ dari lirik hingga ritme yang terkesan ringan. Tapi sangat disayangkan tipikal folk Indonesia, hampir seragam tidak beragam, padahal masih banyak genre folk yang bisa dikembangkan. Bila mengacu kembali ke definisi folk adalah musik rakyat/tradisional mengapa tidak kita gunakan gamelan, atau angklung sebagai pelengkapnya, mungkin ada beberapa musisi yang telah mengaplikasikannya tapi yang terlihat hanya ‘keseragaman’nya itu. Bahkan musik kuda lumping dan dangdut koplo sangat sah menjadi musik folk, kan musik masyarakat juga hehehe.

Yang lebih disayangkan lagi di kalangan pemuda Indonesia ini terjadi sedikit pergeseran makna. Sekarang, musik folk banyak diidentitaskan dengan pemuda senja, kopi, hujan, dan entah sebutan apalagi yang mereka labelkan terhadap musik folk. Why? Sampai detik ini pun saya masih bertanya tanya. Sepengetahuan saya sebelum musik ini kembali tenar di Indonesia, sudah banyak musisi bergenre lain yang mengangkat tema senja pada lagunya. Sebut saja Total Tragedy band Gothic Metal kelahiran 1997 asal Surabaya, Auticed band Brutal Death asal Bandung yang merilis single “Senja Berkarat” di tahun 2013, bahkan musisi Rock veteran Indonesia yaitu Slank mempunyai lagu andalan yang bernuansakan pantai yaitu “Anyer 10 Maret”, dan masih banyak lagi. Entah atas dasar apa pemuda pecinta musik folk di tanah air ini mengidentikkan diri dengan hal hal tersebut. Menurut saya, penyebutan folk sekarang untuk mempermudah jualan dan menentukan pasar aja sih hehe.

Tulisan ini adalah sepenggal pandangan yang saya peroleh dengan mengamati dan berhubungan langsung kepada para pecinta juga penggiat folk. Memang, tulisan ini tidak bisa menjadi tolak ukur sebuah kajian atau koridor dalam mengotakkan dan menerjemahkan folk Indonesia secara luas dan gamblang, namun sedikit berbagi bertujuan agar kita sama-sama menggali untuk lebih berani menjadi diri sendiri dan tidak mudah dipengaruhi tren yang ada. Terimakasih buat kalian yang sudah bersedia membaca tulisan ini yaa. Kalo mungkin ada yang kurang srek dihati mari kita lanjutkan diskusi sambil ngopi biar kayak anak indie, katanya sih hihihi.

Dan yang terpenting adalah JAYA TERUS MUSISI INDONESIA!

Penulis : Fikri Firman AF